Bagaimana Menyikapi Kenaikan Harga?

Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tujuannya, tak lain agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Aturan Islam tegak di atas keadilan, untuk kemaslahatan umat dan menghilangkan madharat.

Mengenai pengelolaan sumber daya alam, Islam juga sudah mengaturnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

 الناس شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Ahmad).

Termasuk di dalam hadits tersebut adalah sumber daya energi, yang menjadi kebutuhan masyarakat luas. Oleh sebab itu, kepemilikan tambang minyak bumi, gas alam dan energi lain yang melimpah dari alam itu tidak boleh diprivatisasi, dikuasakan oleh individu atau korporasi tertentu, melainkan harta miliki umum (public ownership) yang dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.

Lantas bagaimana menyikapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemungkin juga berdampak pada inflasi?

Pada dasarnya, ada dua penyebab naiknya harga: Pertama, karena faktor alami yang menyebabkan kelangkaan pasokan.

Bila hal ini terjadi tentu sikap yang tepat, pemerintah berkewajiban sekuat tenaga memberikan solusi, seperti mencari alternatif sumber energi, memberikan subsidi dan bantuan kepada rakyat. Para pemimpin Islam, telah memberikan teladan, mereka bertanggung jawab atas berbagai persoalan yang dialami masyarakat.

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, di Madinah terjadi musim paceklik yang parah yang dikenal dengan sebutan ‘âm ramâdah. Khalifah Umar lalu mencari bantuan untuk rakyatnya di Madinah, dengan mengirimkan surat kepada para gubernur di berbagai wilayah kekuasaan Islam.

كَتَبَ عُمَرُ إِلَى أُمَرَاءِ الأَمْصَارِ يَسْتَغِيثَهُمْ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهَا، وَيَسْتَمِدَّهُمْ، فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ قَدِمَ عَلَيْهِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي أَرْبَعَةِ آلافِ رَاحِلَةٍ مِنْ طَعَامٍ

“Umar Radhiyallahu ‘anhu telah menulis surat kepada penguasa-penguasa daerah, meminta bantuan dari mereka untuk penduduk Madinah dan sekitarnya. Bantuan pertama datang dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah sebanyak empat ribu unta yang dimuati makanan.” (Al-Imam Ath-Thabari, Tarikh Al-Umam wal Muluk, II/509).

Kedua, penyebab non alamiah yakni terjadinya penyimpangan seperti penimbunan, permainan harga hingga liberalisasi ekonomi. Terlebih jika hal itu terjadi akibat keengganan menerapkan tata kelola negara berdasarkan tuntunan Islam.

Maka, sikap yang tepat adalah pemerintah harus segera kembali bertaubat kepada Allah, melakukan penegakkan hukum terhadap mafia Migas.

Pemerintah jangan sampai sewenang-wenang menaikkan harga, yang berakibat menzalimi dan menyengsarakan rakyat.

Kenaikan harga pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ ، قَدْ غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا ، فَقَالَ : إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ ، الْقَابِضُ , الْبَاسِطُ , الرَّازِقُ ، إِنِّي لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ.

“Harga barang dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu orang-orang pun berkata: “Wahai Rasulullah, harga barang melambung, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah yang (berhak) menetapkan harga, yang menahan, melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki. Dan sungguh aku benar-benar berharap berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan kezaliman dalam masalah darah (nyawa) dan harta.” (HR. Al-Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Hadits di atas mengisahkan kondisi pasar di Madinah yang mengalami kenaikan harga, lantas salah seorang sahabat meminta Rasulullah untuk melakukan intervensi pasar dengan menetapkan harga tertentu. Agar para pedagang menjual barang secara standar, tanpa boleh mengurangi atau menaikkan.

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menolaknya, dengan menyatakan bahwa Allah yang berhak menetapkan harga. Maksudnya, naik dan turunnya harga di pasaran harus terjadi secara alamiah. Tidak boleh ada campur tangan rekayasa pihak tertentu.

إشارة إلى أن المانع له من التسعير مخافة أن يظلم الناس في أموالهم, فإن التسعير تصرف فيها بغير إذن أهلها, فيكون ظلمت

Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi halangan adanya penetapan harga ialah kekhawatiran timbulnya kezaliman dalam harta mereka. Sesungguhnya penetapan harga barang-barang merupakan bentuk tindakan memperlakukan barang orang lain tanpa seizin pemiliknya, itu adalah kezaliman. (Nashiruddin Al-Baidhawi, Tuhfatul Abrar, II/63).

Jika menentukan harga pasar saja Rasulullah menolak karena khawatir menyebabkan kezaliman baik kepada pihak penjual atau pembeli, maka bagaimana gerangan jika penetapan harga dengan menaikkan barang tertentu yang jelas menyusahkan rakyat?

Maka, para pemimpin syogianya takut akan berbuat kezaliman kepada rakyatnya, di mana kelak akan menjadi beban di hari kiamat.

Apalagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam secara gamblang memanjatkan doa agar Allah membalas pemimpin yang menyengsarakan rakyat. Dituturkan dari Ummul Mukminiin ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdoa:

اللَّهُمَّ مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ

“Ya Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dirinya; dan barangsiapa memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dirinya dengan baik.” (HR. Muslim).

Imam An Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim, mengomentari hadits ini sebagai berikut:

هَذَا مِنْ أَبْلَغ الزَّوَاجِرعَنْ الْمَشَقَّة عَلَى النَّاس، وَأَعْظَم الْحَثّ عَلَى الرِّفْق بِهِمْ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِهَذَا الْمَعْنَى .

“Hadits ini berisi pencegahan yang paling jelas dari perbuatan menyusahkan urusan manusia, sekaligus dorongan yang sangat besar untuk berbuat lemah lembut kepada manusia.  Hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini sangatlah banyak”. (Imam An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 6/299).

Oleh sebab itu, jika terjadi kesewenang-wenangan yang berdampak menyengsarakan rakyat maka harus ada pihak-pihak yang mengingatkan pemerintah. Ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar, bahkan menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang berbuat zalim adalah jihad yang utama,

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud).

Seorang tabi’in, Abu Muslim Al-Khaulani bahkan menyampaikan kritik terang-terangan atas kebijakan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang dianggapnya salah.

وَوَقَفَ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَوْمًا عَلَى مَنْبَرِهِ بَعْدَ أَنْ قَطَعَ الْعَطَايَا المالية عَنْ أَفْرَادِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ : اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَقَامَ إِلَيْهِ أَبُو مُسْلِمُ الْخَوْلانِي فَقَالَ : لا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ يَا مُعَاوِيَةُ . قَالَ مُعَاوِيَة : وَلِمَ يَا أَبَا مُسْلِم فَقَالَ يا مُعَاوِيَةُ : كَيْفَ تَمْنَعُ الْعَطَا وَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ كَدِّكَ وَلا كَدِّ أَبِيكَ وَلا مِنْ كَدِّ أُمِّكَ .

فَغَضِبَ مُعَاوِيَةُ وَنَزَلَ عَنِ الْمِنْبَرِ وَقَالَ لِلْحَاضِرِينَ : مَكَانَكُمْ . وَغَابَ سَاعَةً عَنْ أَعْيُنِهِمْ ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْهِمْ وَقَدْ اغْتَسَلَ فَقَالَ : إِنَّ أَبَا مُسْلِمْ كَلَّمَنِي بِكَلامٍ أَغْضَبَنِي وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : « الْغَضَبُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَغْتَسِلْ » . وَإِنِّي دَخَلْتُ فَاغْتَسَلْتُ وَصَدَقَ أَبُو مُسْلِم إِنَّهُ مِنْ كَدِّي وَلا مِنْ كَدِّ أَبِي فَهَلمُّوا إِلى عَطَائِكُم .

Suatu ketika, Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu berdiri di atas mimbarnya setelah ia menghentikan pemberian bantuan (subsidi) kepada beberapa orang muslim. Ia berkata,”Dengarkanlah dan taatilah perkataanku!”

Maka Abu Muslim Al-Khulani berdiri (mendekat untuk mengkritiknya sehubungan dengan tindakan Muawiyah yang salah itu). Abu Muslim berkata, “Tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat padamu, hai Muawiyah!”.

Muawiyah kemudian menanyakan alasannya, “Mengapa, wahai Abu Muslim?”

Abu Muslim berkata, “Hai Muawiyah, bagaimana mungkin engkau menghentikan pemberian bantuan, sedangkan harta yang diberikan bukan hasil jerih payahmu, bukan hasil jerih payah ayah dan ibumu.”

Muawiyah pun tampak emosi. Lalu ia lekas turun dari mimbar dan mengatakan kepada yang hadir agar mereka tetap di tempatnya masing-masing. Untuk sesaat Muawiyah menghilang dan tidak tampak kemana perginya.

Beberapa saat kemudian ia pun muncul kembali setelah mandi, seraya berkata, “Abu Muslim telah mengatakan sesuatu yang membuatku marah, sedangkan aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda:

الْغَضَبُ مِنَ الشَّيْطَانِ وَالشَّيْطَانُ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَغْتَسِلْ

‘Sesungguhnya marah itu dari syetan, sedangkan syetan itu dibuat dari api, dan api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kamu marah, mandilah!’

Kemudian aku pulang dan masuk ke rumah untuk mandi. Benar apa yang dikatakan oleh Abu Muslim bahwa harta yang diberikan itu bukan hasil kerja kerasku dan bukan pula hasil kerja keras ayahku. Maka dari itu, marilah dan ambillah pemberian bantuan untuk kalian.” (Mawaridu Azh-Zhaman Lidursi Az-Zaman, IV/117).

Memang benar, dalam menyikapi naiknya harga, seorang pribadi muslim yang beriman, secara i’tiqadi, harus menyadari bahwa Allah Ta’ala yang Maha Memberi Rezeki,

ذكر عن أبي حازم أنهم أتوه فقالوا له: يا أبا حازم أما ترى قد غلا السعر؟ فقال: وما يغمكم من ذلك؟ إن الذي يرزقنا في الرخص هو الذي يرزقنا في الغلاء.

Disebutkan bahwa Abu Hazim Salamah bin Dinar pernah didatangi masyarakat, lalu mereka berkata padanya: “wahai Abu Hâzim, tidakkah engkau perhatikan bahwa harga-harga melambung tinggi?”

Maka beliau menjawab: “Lalu apa yang membuat engkau galau dengan hal tersebut? Sesungguhnya Yang Memberi Rizki kepada kita saat harga turun, Dia pula yang memberi rizki kepada kita saat harga-harga naik” (Mukhtashar Tarikh Dimasyq, III/354).

Di sisi lain, umat Islam tidak boleh berpangku tangan, karena mendiamkan kemunkaran justru mengundang turunnya azab,

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الْمُنْكَرَ لاَ يُغَيِّرُونَهُ ، أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ

“Sesunguhnya manusia apabila melihat kemungkaran kemudian tidak berupaya mengubahnya, maka hampir-hampir Allah akan meliputi mereka dengan adzab-Nya.” (HR. Ibnu Majah).

Terakhir, jika dengan naiknya harga merupakan bentuk kezaliman, maka saat itulah waktu mustajab untuk berdoa.

اِتَّقِ دَعْوةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Takutlah kepada doa orang-orang yang teraniyaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan)“. (HR. Muslim).

Manfaatkan momen itu untuk memperbanyak doa, khususnya doa memohon kepada Allah agar menghentikan kemunkaran yang terjadi, menormalkan kembali harga berbagai kebutuhan dan memberikan kelapangan rezeki. Wallahu a’lam.

Check Also

PUASA DAN ANAK (2)

Imam Ghazali menulis buku nasihat buat anak berjudul Ayyuhal Walad(Wahai Anak), membawakan kisah menarik diskusi …