Fanatik

Ada seruan yang mengatakan agar tidak fanatik dalam beragama. Mungkin seruan tersebut sering pula kita dengar di tengah masyarakat.

Fanatik dalam kamus bahasa Indonesia artinya; teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya). Jadi fanatik dalam beragama artinya teramat kuat kepercayaannya (keyakinan) terhadap agama. Lantas apa yang salah dengan orang yang punya keyakinan teguh terhadap agamanya?

Islam mengajarkan agar pemeluknya memegang teguh ajaran agamanya, bahkan ada banyak dalil tentang hal ini. Dalam setiap khutbah Jum’at misalnya, para khatib selalu menyampaikan wasiat takwa dengan firman Allah Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran: 102)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan ayat di atas dalam tafsirnya,

هذا أمر من الله لعباده المؤمنين أن يتقوه حق تقواه، وأن يستمروا على ذلك ويثبتوا عليه ويستقيموا إلى الممات، فإن من عاش على شيء مات عليه، فمن كان في حال صحته ونشاطه وإمكانه مداوما لتقوى ربه وطاعته، منيبا إليه على الدوام، ثبته الله عند موته ورزقه حسن الخاتمة

Ini merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, tetap berada di atasnya dan istiqamah hingga akhir hayat. Hal itu, karena orang yang terbiasa hidup di atas sesuatu, niscaya ia akan meninggal di atasnya. Barang siapa di saat sehat, semangat dan berkemampuan tetap menjaga ketakwaan kepada Tuhannya dan mentaati-Nya serta senantiasa kembali kepada-Nya, maka Allah akan meneguhkannya ketika wafat serta mengaruniakan husnul khatimah. (Taisir Karimir Rahman, I/141).

Demikian pula tafsir ringkas yang dikeluarkan departemen agama RI; “Supaya kamu memperoleh keimanan yang kuat dan tidak goyah ketika terjadi cobaan, maka wahai orang-orang yang beriman! bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya sesuai kebesaran, keagungan, dan kasih sayang-Nya kepada kamu.” (Tafsir kementerian agama).

Di sisi lain, Islam melarang fanatisme golongan (ashabiyah) yang membabi buta tak peduli benar atau salah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak kepada ashabiyah, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah. ” (HR. Abu Dawud).

Dalam hadits lainnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan lebih lanjut makna ashabiyah. Bahwa, diperbolehkan seseorang mencintai kaumnya, namun yang terlarang adalah membela kezaliman yang dilakukan oleh kaum tersebut.

عَنِ امْرَأَةٍ مِنْهُمْ يُقَالُ لَهَا فُسَيْلَةُ ، قَالَتْ : سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ ، سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ ؟ قَالَ : لاَ ، وَلَكِنْ مِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ

Seorang wanita dari penduduk Palestina yang disebut Fasilah, mendengar ayahnya bertanya kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, apakah termasuk Ashabiyah jika ada seseorang yang cinta kepada kaumnya?” Nabi bersabda: “Bukan. Ashabiyah adalah seseorang membantu kaumnya untuk berbuat kedzaliman” (HR Ahmad)

Kemudian, fanatisme buta juga berpotensi ada dalam bermazhab, sehingga hal ini pun tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana disampaikan para ulama. Imam Ibnu Abidin Ad-Dimasyqi Al-Hanafi (w.1552 H) menyatakan:

قَالَ فَخْرُ الْإِسْلَامِ لَمَّا سُئِلَ عَنْ التَّعَصُّبِ قَالَ الصَّلَابَةُ فِي الْمَذْهَبِ وَاجِبَةٌ، وَالتَّعَصُّبُ لَا يَجُوزُ، وَالصَّلَابَةُ أَنْ يَعْمَلَ بِمَا هُوَ مَذْهَبُهُ وَيَرَاهُ حَقًّا وَصَوَابًا، وَالتَّعَصُّبُ السَّفَاهَةُ، وَالْجَفَاءُ فِي صَاحِبِ الْمَذْهَبِ الْآخَرِ وَمَا يَرْجِعُ إلَى نَقْصِهِ

“Tatkala Fakhrul Islam ditanya tentang sifat fanatik, maka beliau menjawab: Bahwa sikap berpegang teguh dengan madzhab merupakan kewajiban, adapun fanatik buta (ta’ashub) maka terlarang. Sikap berpegang teguh adalah seorang mengamalkan dan memandang kuat dan benar madzhabnya. Adapun fanatik buta, adalah kebodohan dan sikap keras/kaku kepada pengikut dan kekurangan madzhab lain, maka ini tidak boleh.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah II/333).

Tak hanya itu, fanatik buta terhadap ulama tertentu juga dilarang,

وَمَنْ تَعَصَّبَ لِوَاحِدِ بِعَيْنِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ دُونَ الْبَاقِينَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَعَصَّبَ لِوَاحِدِ بِعَيْنِهِ مِنْ الصَّحَابَةِ دُونَ الْبَاقِينَ

“Barangsiapa fanatik kepada salah seorang Imam, dan mengabaikan para imam yang lainnya, maka kondisinya seperti orang yang fanatik kepada salah seorang sahabat Nabi dan meninggalkan sahabat-sahabat yang lainnya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22/252)

Jadi, bila bermazhab atau mengikuti imam kaum Muslimin yang masih memiliki kaitan dengan perkara agama saja dilarang bersikap fanatik buta, apalagi dalam perkara duniawi. Misalnya, tawuran antar supporter klub sepak bola, saling hina karena mendukung artis atau group band tertentu, termasuk menyerang pihak yang berbeda pandangan politik.

Dengan demikian dari penjelasan di atas, fanatik dalam artian memegang teguh dan meyakini agama itu sesuatu yang wajar, bahkan diperintahkan. Sehingga, yang seharusnya diserukan bukan larangan dalam fanatik beragama, melainkan fanatisme buta dalam membela pemimpin zalim, pemerintahan tirani, partai, jabatan/kedudukan dan lain sebagainya. Karena hal itu bisa mengancam persatuan dan kesatuan.

Check Also

PUASA DAN ANAK (2)

Imam Ghazali menulis buku nasihat buat anak berjudul Ayyuhal Walad(Wahai Anak), membawakan kisah menarik diskusi …