Allah ta'ala berfirman:
ذَٰلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ
"Itulah hukum-hukum dan syariat Allah yang diturunkan-Nya ditengah-tengah kalian (sahabat)." (At-Thalaq: 5)
Tidak seperti para sahabat, kita bila ingin menceburkan diri memahami makna-makna Al-Quran harus melalui perantara. Alternatif lainnya kita hidup dalam suasana keilmuan yang sangat luas serta ideal dengan seluruh perangkat-perangkatnya dan hari ini sulit ditemukan. Sedangkan para sahabat, mereka menimba Al-Quran secara langsung tanpa perantara.
Sahabat langsung meminum air dari sumber mata air yang paling jernih. Wahyu turun pada mereka, sehingga mereka langsung memahaminya. Hendaknya kita hidup dengan Al-Quran untuk menyelami mutiara aqidah di dalam samudera maknanya yang sangat luas. Kita tidak hanya membutuhkan Al-Quran sebagai wujud peribadatan seperti tilawah.
Kita membutuhkan Al-Quran untuk mentadaburinya di atas makna peribadatan. Bukan hanya tadabur untuk menggali persoalan ilmiah saja tetapi juga untuk beribadah kepada Allah. Sehingga kita bisa mengenali pada diri Rabb makna-makna yang banyak.
Misalnya dalam surat At-Thalaq ini, surat yang membahas tentang perceraian Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dengan Hafshah putri sahabat utama Umar bin Kaththab radhiyallahu anhuma. Lahiriyah kejadian ini sangat menyedihkan, Hafshah diceraikan oleh Nabi yang mulia.
Namun dengan sebab perceraian ini, hikmahnya Allah ta'ala menurunkan firmannya mengatur tentang beberapa hukum-hukum perceraian. Bahkan Allah ta'ala mengagungkan Nabi-Nya dengan kalimat:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
"Wahai Nabi, jika KALIAN menceraikan istri-istri."
Allah ta'ala menggunakan bentuk jamak (plural) KALIAN kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam sebagai pemuliaan. Padahal zhahirnya Nabi shalallahu alaihi wassalam mematahkan hati Hafshah dengan mentalaknya.
Nabi shalallahu alaihi wassalam mentalak Hafshah radhiyallahu anha karena kesalahan yang dilakukan Hafshah yang membuatnya bersedih dan menyesal. Saking sedihnya, Hafshahpun keluar dari rumah Nabi pulang menemui ayah ibunya. Turunlah firman Allah azza wa jalla menghibur Hafshah:
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah (perceraian) itu sesuatu hal yang baru. (At-Thalaq: 1)
Maksudnya, Allah ta'ala melembutkan hati Nabi shalallahu alaihi wassalam dari marah menjadi cinta pada Hafshah kemudian merujuknya. Ayat ini juga bermakna janji Allah pada istri yang diceraikan oleh suaminya, meskipun perceraian ini akibat kesalahan si istri. Allah akan membuat sesuatu takdir yang baru, takdir yang baik baginya. Suatu kebahagian sebagai hiburan dari Allah dengan syarat: bertakwa dan taubat.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
"Siapa yang bertakwa pada Allah Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar." (At-Thalaq: 2)
Bahkan Allah jalla tsanauh akan menganugerahkannya limpahan rizki dari jalan yang tak terduga:
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
"Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (At-Thalaq: 3)
Serta janji-janji kemudahan perkara dan diampunkan dosa dalam ayat-ayat selanjutnya. Janji yang Allah tetapkan pada siapapun yang bertakwa khususnya istri-istri yang ditalak suaminya.
Para sahabat sangat paham hukum-hukum kauniyah, hukum-hukum qadariyah dan hukum-hukum syariat tentang talak ini. Sebab hukum-hukum ini turun langsung ditengah-tengah mereka. Inilah para sahabat yang mengambil Al-Quran langsung dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka tundukkan dada mereka untuk menerima Al-Quran. Mentadaburinya bukan hanya untuk mengambil kajian-kajian keilmiahan tapi lebih dari itu untuk menyelami makna-makna peribadatan.