Breaking News

Abah Thayyib Perintis Pesantren Salman Al Farisi

Tak banyak yang tahu, Abah Thayib merupakan perintis dan penggagas pondok pesantren Salman Al Farisi di Karangpandan, Karanganyar. Abah Thayib merupakan panggilan akrab pemilik nama asli H. Joko Daryono, S. Ag.

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raaji’un, telah wafat ustadz Thayyib pada pukul 03.50 WIB, pada hari Sabtu 16 Rabi’ul Tsani 1446 H atau 19 Oktober 2024 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta.

Ustadz Thayyib atau yang akrab disapa Abah Thayyib wafat setelah dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Beliau dimakamkan di Pemakaman Muslim Kaliyoso.

Berikut ini adalah sedikit kisah Abah Thayyib dalam merintis Pondok Pesantren Salman Al Farisi:

Selain dikenal sebagai aktivis Islam senior, beliau merupakan pengusaha besi dan produsen timbangan sukses yang lahir di Surakarta, tanggal 20 Desember 1967. Dengan status tersebut, beliau sempat menjadi Amin Baitul Mal atau Bendahara JAT bersama dengan almarhum Abdul Karim Moelyono.

Jauh sebelumnya di pertengahan tahun 1980-an, saat masih sekolah di SMA Al Islam Surakarta, beliau sudah aktif sebagai mubaligh di Korps Mubaligh Muda Surakarta. Setelah lulus dari SMA tahun 1987, Abah Thayib melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta hingga meraih gelar Sarjana Agama.

Peran ayah dari lima orang anak itu dalam merintis pendirian Pondok Pesantren Islam Salman Farisi bisa dibilang merupakan tokoh utama sesudah H. Kusuma Putra, seorang pengusaha asal Surakarta rekan bisnis Abah Thayib yang merupakan pewakaf awal tanah pondok.

Suatu saat, H. Kusuma Putra berkeinginan untuk membuat konsep Wisata Tauhid, yaitu semacam tempat wisata ruhani bagi masyarakat umum yang menginginkan siraman rohani dalam bentuk ceramah pengajian atau tausiyah-tausiyah dari sejumlah ustadz tertentu dengan menginap di vila-vila atau pondokan-pondokan yang akan disiapkan di sebidang tanah sawah seluas 4.500 m² yang terletak di dusun Bakalan, Harjosari, Karangpandan, Karanganyar.

Pertemanan bisnis diantara keduanya yang sudah berjalan cukup lama dan akrab, mendorong semangat dan niat Abah Thayib untuk memberikan alternatif konsep pemanfaatan lahan yang lebih baik bagi H. Kusuma Putra dan keluarga. Daripada membuat konsep Wisata Tauhid, H. Kusuma Putra disarankan oleh Abah Thayib untuk menjadikan lahan tersebut sebagai pondok pesantren atau lembaga pendidikan agar lebih mengalirkan pahala jariyah yang lebih abadi.

Saran tersebut didasarkan Abah Thayib pada Surat Al Baqarah ayat 261 dan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim.


مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (terjemah surat Al Baqarah ayat 261).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya. (HR Muslim 3084).

Mendengar saran dari Abah Thayib, setelah direnung-renungkan, usulan tersebut selanjutnya diterima dengan baik oleh H. Kusuma Putra. Sebidang tanah sawah seluas 4.500 m² yang terletak di Karangpandan, Karanganyar yang semula akan dibuat konsep Wisata Tauhid itu kemudian diubah niatnya untuk diwakafkan agar dijadikan sebagai tempat madrasah, pondok pesantren, atau lembaga pendidikan Islam. Atas saran dari Abah Thayib juga, dibangun sebuah masjid atau mushola kecil berukuran 10 x 10 m dan sebuah bangunan bilik rumah kecil di atas tanah tersebut.

Masjid kecil tersebut semula bernama Masjid Al Mirza yang diambil dari nama anak H. Kusuma Putra yang bernama Muhammad Mirza. Penggunaan nama masjid dengan nama Mirza, menurut Abah Thayib dikhawatirkan akan berkonotasi terhadap nama tokoh Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad yang telah difatwakan sesat dan menyesatkan serta dinyatakan sebagai aliran di luar Islam. Oleh karena itu, beliau minta izin untuk mengganti nama masjid itu dengan nama lain suatu saat nanti. Belakangan, nama masjid diubah menjadi Masjid Darul Anshar dan kemudian menjadi Masjid Salman Al Farisi.

Selanjutnya, Abah Thayib membentuk nadzir (orang-orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf, memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut). Para pihak yang menjadi Nadzir Wakaf yaitu ustadz Abu Bakar Ba’asyir, Dr. (HC) H. Soeparno Zainal Abidin, H. Abdul Karim, H. Moch Hanafi Sucipto, dan Abah Thayib. Setelah wafatnya Abah Thayib, praktis hanya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, nadzir yang masih hidup.

Alhamdulillah, saat ini Pondok Pesantren Salman Al Farisi sudah berkembang pesat. Santri-santrinya banyak berprestasi tak hanya di tingkat regional, tetapi juga nasional bahkan internasional.

Kini beliau telah wafat dan kita sebagai penerusnya selayaknya terus melanjutkan cita-cita Abah Thayyib agar Pesantren Salman Al Farisi terus menjadi besar dan bermanfaat bagi ummat.

Semoga Allah ta’ala menerima segala jerih payah dan semua amal Abah Thayib, mengampuni segala kesalahan beliau, dan menempatkan beliau di tempat terbaik, Jannatun Na’im. Amin

Check Also

Asrama Bagi Calon Ulama

Yayasan Ponpes Salman Al-Farisi saat ini tengah menggiatkan pembangunan di Komplek Putra Ponpes Salman Al-Farisi …